Senin, 09 November 2009

KISAH SEBUAH BEJANA YANG BISA BERANAK

Sewaktu kecil saya pernah berlangganan majalah Ananda, mungkin masih banyak yang ingat. Di salah satu rubrik cerita saya membaca kisah yang cukup menarik. Kalau tidak salah settingannya adalah tentang seorang yang cerdik sebut saja Si Fulan dengan seseorang yang pelit lagi kikir.

Seingat saya kisah begini :

“Si Fulan adalah seorang yang cerdik dan pandai, di kampungnya dia terkenal kerap menyelesaikan masalah tanpa masalah (kayaknya pernah dengar kata-kata ini). Suatu saat dia memperoleh pengaduan dari seorang warga tentang tetangganya yang terkenal pelit dan kikir, kerjanya mengumpulkan harta tanpa mau berbagi bahkan meminjamkan sesuatu saja rasanya berat. Setelah mendengar keluhan tersebut Si Fulan segera menyusun siasat.

Datanglah ia ke rumah si kikir itu, dilihatnya dia sedang bersantai dirumahnya, setelah mengucapkan salam dan berbasa-basi mulailah Si Fulan menjalankan strateginya.

“Wahai tetangga yang kaya raya lagi baik hati, sungguh terpuji sikapmu terhadap tetangga yang lain,” puji Si Fulan. Si Kikir pun berfikir bagaimana mungkin Si Fulan menyebut dirinya seperti itu, “Apa yang kau ketahui tentang aku?” jawab si Kikir.

“Seluruh tetanggamu menceritakan semua yang baik tentang dirimu, kau suka berbagi, suka meminjamkan sesuatu kepada orang lain bahkan kau suka sekali membantu tetangga yang sedang kesusahan,” ungkap Si Fulan. Kontan si Kikir merasa tersanjung dengan kisah Si Fulan ini, dan ia pun membenarkan kata-kata si Fulan tanpa kecuali. “Lalu apa maksud kedatanganmu kemari?” Tanya si Kikir.

“Begini, aku saat ini sedang membutuhkan sebuah sebuah bejana untuk memasak. Karena aku mendengar tentang engkau yang baik ini maka aku datang kemari untuk meminjamnya,” jawab Fulan. Terkaget si Kikir mendengar jawaban itu. Karena ia merasa tidak enak dengan berat hati meminjamkan bejana tadi.

Selang beberapa hari, si Fulan datang lagi ke rumah si Kikir. Sambil setengah berteriak dia berkata, “Sungguh beruntung wahai engkau, sungguh beruntung.”

“Apanya yang untung, cepat katakan!” sambut si Kikir. “Bejana yang engkau pinjamkan kepadaku tempo hari tadi pagi beranak. Ini aku bawakan anaknya,” jawab Si Fulan.

“Benarkah? Jika demikian bawa kemari anak bejana itu. Itu adalah milikku,” sambut si Kikir sambil merebut sebuah bejana kecil yang indah. “Jika demikian rawatlah induk bejana itu dan bawalah anaknya kemari jika dia beranak lagi,” perintah si Kikir.

Beberapa hari kemudian si Fulan datang kembali dengan membawa sebuah bejana kecil lainnya. Dan dengan gembira si Kikir kembali mengambil anak bejananya itu dengan gembira. “Teruslah beranak wahai bejanaku sehingga banyak jumlah anakmu,” harap si Kikir. Fulan menanggapinya dengan senyum.

Lalu beberapa hari kemudian si Fulan datang kembali, namun si Kikir yang sudah menunggu selama berhari-hari agak terheran-heran. Karena si Fulan datang dengan tangan kosong dan menampakkan wajah yang sedih.

“Ada apa wahai Fulan? Kenapa engkau murung? Mana anak bejanaku?” tanya si Kikir bertubi-tubi. Sambil tetap menampakkan wajah sedihnya si Fulan menjawab, “Sungguh malang nasibmu, aku datang dengan berita buruk. Bejana yang engkau pinjamkan kepadaku telah meninggal dunia. Dia telah kami kuburkan dan tidak dapat kami kembalikan kepadamu,”

Seketika si Kikir melompat dari tempat duduknya sambil marah, “Bagaimana mungkin ada bejana yang  bisa meninggal dunia. Tidak mungkin. Engkau hanya mengarang cerita agar engkau bisa memiliki bejanaku yang besar itu. Tidak masuk akal ada bejana bisa meninggal dunia.”

“Begitulah yang terjadi,” balas Fulan.

“Tidak mungkin engkau pasti bohong,” jawab si Kikir.

“Saudaraku sadarkah engkau telah jatuh dalam kekikiran. Kemarin engkau dengan mudah menerima bahwa bejanamu dapat beranak dan engkau mengambil anaknya. Namun bagaimana bisa sekarang engkau menolak jika bejanamu juga bisa meninggal dunia. Sadarlah dunia telah menipumu. Akalmu tertutupi oleh nafsu ingin memperoleh keuntungan tanpa berfikir untuk berbagi. Sesungguhnya tetangga-tetanggamu menceritakan yang sebaliknya tentang engkau, maka sadarlah bahwa hidup ini bukan hanya urusan dunia tapi masih ada pertanggung jawaban di atas sana,” si Fulan dengan nada keras menasehati si Kikir.

Akhirnya si Kikir sadar akan sikapnya selama ini dan ia berjanji akan memperhatikan tetangganya dan selalu berbagi bersama mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2012 furqon online All Right Reserved
Shared by Themes24x7